Malioboro Day | Ruang music di pedestrian malioboro, Yogyakarta
…..”ini malam terakhirku di Jogja mas, besok aku sudah pulang, aku seneng sekali dapat malam penutup yang manis”… begitu kata Ayu, salah satu penonton di Maliboro Day semalam, di titik nol kilometer kota Yogyakarta. Yha, bagaimana tidak, Yogya memang selalu memesona dan membuahkan rindu bagi siapa saja yang pernah
Malioboro Day adalah program acara yang digelar oleh Dinas Pariwisata Pemda DI Yogyakarta setiap Jumat malam selama bulan Juni di beberapa titik di Jalan Malioboro. Acara tersebut merupakan salah satu event menyambut musim liburan sekolah dan menjadikan kawasan pedestrian Malioboro sebagai panggung jalanan untuk menarik minat wisatawan menikmati jalur yang disediakan bagi pejalan kaki, begitu dilangsir oleh satuharapan dot kom.
Aku datang ke kawasan titik nol sekitar pukul 19:15, ku lihat beberapa orang tengah mempersiapkan perangkat audio dan sebuah drum, di situlah aku mulai yakin bahwa telah datang di tempat yang benar. Aku menghubungi salah seorang yang bertugas malam itu dengan ponselku, tak lama ia datang dengan temannya untuk membantuku menurunkan sebuah piano eletrik yang sejak sore aku boyong dari tempat pentasku sebelumnya.
Piano sudah siap di sebelah panggung, dan tidak lama soundcheck dimulai. Perangkat audio yang mereka gunakan cukup sederhana, empat buah floor monitor berukuran 18 inchi, dua menghadap kearah penonton dan dua lagi sebaai monitor musisi. Saat itu ku lihat seorang bassist tengah mencoba sound-nya lalu disusul seorang gitaris yang tadinya kukira vokalis, dan tidak lama seorang pemain drum duduk di belakang melengkapi trio ini. Mereka menamakan diri “The Local Playboy”, dilatar belakangi padatnya lalu lintas perempatan kantor pos besar malam itu,
mereka memainkan beberapa lagu populer seperti English Man in New York-Sting, Give Me One Reason, dan lagu Bento-nya SWAMI. Aku cukup menikmati penampilan mereka hingga badanku yang sedikit gemuk ini takmalu untuk kuajak bergoyang mengikuti suasana malam itu.
penampilan The Local Playboy (foto: M Jauhar Al Hakimi)
Setelah trio ini beranjak, tiba giliran trio berikutnya, namanya “Afteroom”, entah apa arti kata ini, mungkin saja gabungan dari dua kata After dan Room, lalu apakah artinya ruang setelah? Ah tak penting, biar musiknya saja yang berbicara. Ya, trio ini membawakan karya mereka sendiri dengan gaya instrumental. Jika biasanya sebuah band instrumental lebih sering berbau jazz, Afteroom tidak, sedikit bergaya british rock dan ada bau-bau phsycadelic.
penampilan Afteroom
Suasana yang terbangun bersama lagu-lagu afteroom terasa lebih serius dan penonton yang berkumpul semakin banyak, menambah energi musisi malam itu. Aku sendiri merasa hangat berada diantara mereka, menikmati suasana yang belum tentu terjadi di kota lain, dan sejenak datang dalam ingatan, saat pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, 1995, dan ternyata sekarang menjadi kota yang kutinggali. Suasana hangat di malam yang sebenarnya dingin, mengantarkan ke penampil berikutnya, BulanJingga. Kwartet instrumental yang dibentuk pada 2013 dengan nama awal “Kancaku”. Tiba-tiba saja mengalir langkahku ke sebelah pentas membantu mengangkat piano elektrik ke dekat sebelah kiri drum, menghadap tepat ke samping kanan panggung, posisi piano yang sangat konvensional. Dibantu beberapa kru, sampailah pada saat lagu pertama harus dimainkan. Bias kudengar jelas suara gitar di monitor kanan dan drum secara akustik tepat di depan, juga suara piano elektrik yang ditodong mic, bukan dicolok, suaranya bagus sekali, aku bias mendengar jelas nada demi nada, hingga bagian-bagian lagu “Someday We Will Meet”, lagu yang akan dirilis di album kedua Agustus nanti. Suara tepuk tangan penonton menyusul di akhir lagu itu, jelas sekali terdengar dan sangat melegakan sehingga aku bias bicara memperkenalkan personil BulanJingga.
penampilan BulanJingga (foto: M Jauhar Al Hakimi)
Suara pianika terdengar di lagu “Secangkir Sore”, walaupun ini terjadi di malam hari, tapi setidaknya cukup dekat untuk sejenak kembali ke sore tadi. Bayangan sore yang melintas terhenti seketika saat seorang MC kondang Jogja, Anang Batas ikut berpartisipasi dan berdialog dengan penonton malam itu, dan membagikan dua keeping CD album pertama BulanJingga. Mamuk, pemuda dari Flores yang dating bersama calon istrinya yang mengungkapkan pengalamannya malam itu, ia mengatakan terkesan dengan Jogja dan keseniannya, termasuk malam ini, dia mendapatkan suasana yang hangat dan music yang berkualitas. Begitulah Jogja yang selalu berbuah rindu pada siapa saja yang melibatkan dirinya di tempat itu, entah sebagai pelancong atau alumni kampus manapun. Lagu demi lagu terdengar sangat jelas di telinga, hingga kudapati aku tengah duduk di belakang piano, memainkan lagu-lagu manis karya bersama, yha saya Bagus Mazasupa, pianisnya BulanJingga. Sampai jumpa di bulan Agustus di konser rilis album kedua, tentu saja di Jogja.