Bobby Junaidi
Mahbub Junaidi tak punya apa-apa ketika harus menyelami kegetiran hidup di Jakarta. Padahal, dia sendiri merupakan anak Betawi Warung Buncit, Jakarta Selatan. Tapi begitulah, semua orang kudu bertarung di ibu kota demi cita-citanya.
Berbekal gitar pemberian kawan, ia naik turun dari satu metro mini ke yang lainnya untuk bernyanyi, menghibur, dan berharap uang receh dari penumpang sejak lepas bangku SMP.
“Saya melihat tak hanya kegembiraan, tapi juga kegelisahan banyak orang di wajah para penumpang,” kata Bobby yang merupakan anak keempat dari enam bersaudara pasangan almarhum Solehuddin Imroni dan Ulyah.
“Uang hasil ngamen yang rata-rata terkumpul 30 ribu setiap hari, saya kumpul untuk operasional sekolah,” kata Bobby lagi.
Rupanya, aktifitas bersenandung di jalanan itu berlanjut hingga masuk kuliah di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, pada tahun 2004 lalu. Maklum, penghasilan bapaknya tak cukup untuk membiayai ongkos belajar ke enam anaknya.
“Beruntung sih kenal ngamen. Gaji Babe sebagai Pegawai Negeri Sipil waktu itu Cuma sampe tenggorokan doang. Hahahaha,” jelas dia.
Bobby Junaidi & Orkes Sember Engen
Lima belas tahun menjadi penghibur jalanan dengan membawakan lagu-lagu Iwan Fals, Gombloh, Doel Sumbang, Franky Sahilatua dan Ebiet G. Ade, sudah cukup buatnya memahami kegembiraan dan kegelisahan yang kelak ia tuangkan ke dalam lagu.
Lahir di Jakarta, 23 Agustus 1984, dengan nama Mahbub Junaidi dan entah sejak kapan dipanggil dengan sebutan Bobby, lulus belajar di Kampus Tercinta IISIP Lenteng Agung, Jakarta Selatan tahun 2011. Pasca itu, dia menyandang profesi sebagai pekerja pers dan sempat terlibat sebagai video jurnalis dan produser di CBTV milik Jawa Pos, repoter bidang ekonomi Majalah Inilah Review milik Inilah Grup, ObsessionNews.com, dan terakhir bergabung di media online Tirto.id.
Meski sudah menyandang predikat sebagai jurnalis, rupanya aktifitas di jalanan sebagai penyanyi tak lantas berhenti begitu saja. Hingga akhirnya, semua ditinggalkan dan memilih gitar sebagai pegangan hidup. Selanjutnya, latar belakang sebagai jurnalis menjadi modal utama dalam penulisan lirik lagu.
Kini, laki-laki berambut keriting gondrong yang memilih nama Bobby Junaidi sebagai nama panggungnya, tidak kemana-mana. Ia masih di jalanan dan bergaul dengan banyak orang, juga teman-teman lamanya sesama seniman di jalanan.
Hanya saja, dia sudah memindahkan arena ‘bermain’ dari metro mini dengan rute Blok M – Pasar Minggu, ke panggung-panggung yang lebih luas untuk menceritakan isi hati ke dalam media musik.
Iwan Fals dan Ian Antono
Bobby, pernah satu panggung bersama Iwan Fals di Reuni 12 jam STP/IISIP di Space, Kemang, pada 30 Agustus 2015 lalu. Dia, boleh dibilang beruntung punya senior yang lebih dahulu menjadi penyanyi dan sudah melegenda. Pasca itu, Iwan menaruh perhatian pada Bobby.
Bobby Junaidi & Iwan Fals
“Bobby oke, dia harus punya lagu sendiri, bikin lagu sendiri,” pesan Iwan, ketika Yon Moeis dan Erwiyantoro, wartawan senior, ngobrol bersama ‘Manusia Setengah Dewa’ itu di Leuwinanggung.
Ian Antono, penggaruk gitar band God Bless juga memberi pesan dan bekal untuk Bobby setelah mendengar demo lagu Dengerin Aje dan Jakarta Sepi yang secara khusus dipersembahkan untuk tanah kelahirannya.
“Bobby sudah cukup modal menjadi penyanyi. Lagunya renyah dan mudah dicerna, easy listening. Dia ga perlu arranger. Dia Cuma perlu produser,” kata Ian.
Setelah mengeluarkan album kecil berjudul Tuhan, Aku dan Duit pada Oktober 2016 lalu, Bobby berencana merilis album kecil lagi bertajuk Lho, Kok?
“Setelah Lebaran nanti mudah-mudahan sudah bisa rilis,” katanya.
Lagu-lagu beralaskan genre Bluegrass ini, dia buat lantaran akhir-akhir ini banyak terjadi kemarahan baik di media sosial ataupun di jalanan. Dia bilang, lima lagu tersebut sebenarnya bertutur tentang cinta. Hanya saja, dikemas dalam bentuk berbeda.
“Di media sosial, kita marah-marah Cuma gara-gara Pilkada DKI Jakarta. Bayangin aje, ada yang putus tali persahabatan Cuma gara-gara itu. Di jalanan, kita juga marah-marah Cuma gara-gara senggolan atau salah liat. Belakangan, anak-anak remaja malah milih tawuran sebagai hobinya. Menurut saya ini berbahaya,” sebutnya menjelaskan lirik di tiap lagu yang bakal segera dirilis tersebut.
“Makanya, saya pilih lirik yang ‘nyiram air’ aja deh biar kemarahan ga berlanjut dan berujung perpecahan apalagi bubar negara. Kalau ada yang bilang ini kritik sosial ya biar aja. Saya Cuma motret keadaan kemudian memasukkan opini saya. Biar semua adem,” lanjutnya.
[ad id=’3973′]Sebelum merilis ke lima lagu yang antara lain berjudul Dengerin Aje, Ga Bawa Uang, Mba Kece, Bapak, serta Jakarta Sepi, dia coba ‘tes ombak’ seberapa jauh suaranya bisa diterima khalayak luas dengan menyanyikannya di muka publik, di atas panggung, diiringi Orkes SemberEngen yang sengaja dibentuknya.
Lagu yang terakhir disebut (Jakarta Sepi), dia bagi-bagi sebagai ‘barang contoh’ lewat email kepada rekan pers juga masyarakat umum lainnya. Dia mau dengar pendapat dan kritik dari semua orang atas apa yang disodorkan.
Dari sisi musikalitas, dalam lagu ini, Bobby Junaidi menggabungkan genre Bluegrass asal Amerika Serikat dengan Arabian Folk dari Jazirah Arab, dibalut hentakan gendang Jaipong.
Dia bilang, penggabungan itu dimaksudkan bahwa Amerika Serikat sebagai Polisi dunia yang doyan perang, sebenarnya bisa akur dengan negara-negara Arab yang kerap diperanginya. Sementara Gendang Jaipong sendiri, menjadi bukti bahwa Indonesia mampu menjadi penengah dan menjaga ritme kedamaian yang diharapkan.
Di sisi lirik lagu, Bobby bercerita tentang Jakarta yang kudu bersiap ditinggalkan warganya pada musim mudik nanti.
“Tinggal Orang Betawi doang yang kesepian,” begitu kira-kira tangisnya dalam lagu Jakarta Sepi.
Wassalam.